Film “The Divine Fury” oleh sutradara Jason Kim, disebut-sebut sebagai film pertama yang memulai sebuah “jagat sinema” di Korea Selatan. Film ini tayang di bioskop Korea pada 31 Juli 2019.

Sebuah jagat sinema bukanlah sesuatu yang telah dicoba secara sungguh-sungguh di industri film Korea, yang membuat Jason Kim berupaya untuk memulainya dengan sebuah film perbatasan gaib yang berisiko. Film bertema gaib jarang mencapai kepopuleran besar dalam box office Korea.

Jadi, bagaimanakah “The Divine Fury” dari “Holy Universe” – “Iron Man”-nya “Marvel Cinematic Universe” – dinilai? Sementara ini, “The Divine Fury” mempunyai beberapa elemen baik dan bisa jadi menyenangkan dari waktu ke waktu, plot dan konsep yang tidak orisinil, alur cerita yang datar dan karakter-karakter yang tidak menarik tidak begitu meningkatkan harapan untuk film-film berikutnya.

Park Yong-Hu (diperankan oleh Park Seo-Joon) adalah seorang juara Mixed Martial Arts (MMA) yang kematian ayahnya saat ia masih remaja membuatnya hilang kepercayaan pada agama dan memberinya sinisme. Namun ketika sebuah bekas luka yang tidak diketahui dari mana asalnya tiba-tiba muncul di tangannya secara misterius, ia meminta saran dari seorang Pendeta sekaligus Pengusir Setan, Bapa Ahn (diperankan oleh Ahn Sung-Ki).

Setelah mengetahui bahwa luka tersebut mempunyai kekuatan spesial untuk memerangi kejahatan, Park dan Ahn bekerja sama untuk menemukan murid iblis Jisin (diperankan oleh Woo Do-Hwan), dan membasmi dunia kejahatan yang Jisin sebarkan.

Tampak jelas bahwa daripada mengikuti alur tradisional dalam sebuah film gaib pada umumnya – misterius dan menyeramkan – sutradara Kim telah memilih sebuah cerita yang langsung dan mudah dipahami, hampir sama seperti film superhero.

Dengan kemampuan bertarung, kemauan yang tiada hentinya, dan wajah yang tampan, Park Yong-Hu-nya yang diperankan Park Seo Joon pada dasarnya adalah superhero.

Alih alih menguraikan pengetahuan dan dunia ilmu gaib, film ini hanya membangun struktur “yang baik” vs. “yang jahat”. Walaupun hal ini membuat mudah untuk orang-orang yang bukan penganut gaib, ini mungkin bisa menjadi masalah untuk para pengikut gaib. Tidak menyeramkan, tidak menegangkan dan tidak memiliki momen yang membuat penonton bergidik di kursi mereka.

Para karakter gagal. Park Seojoon sebagai tokoh utama tampil agak kaku dan tidak menarik, walaupun ia memiliki adegan-adegan aksi yang baik. Terlebih masalahnya terletak pada bagaimana ia ditulis dalam naskah daripada aktingnya.

Park Seo-Joon dan Ahn Sung-Ki, sebagai dua tokoh utama, bermain sekuat tenaga mereka dalam menciptakan chemistry yang dapat dipercaya dan merasakan energi satu sama lain.

Pendeta sebagai pengganti Bapa sedikit mengecewakan, namun tetap berhasil karena Ahn Sung-Ki. Ia seperti Tom Hanks, ia memilik wajah yang disukai dan dapat dipercaya.

Penjahat dalam film ini benar-benar tidak mengesankan. Akting Woo Do-Hwan tidak buruk, melainkan ia hanya kurang karisma atau faktor intimidasi apapun.

Bapa Choi (diperankan oleh Choi Woo-Shik) juga meninggalkan dampak yang sangat kecil, sedikit disayangkan mengingat apa yang dapat ditunjukkan aktor muda tersebut dalam sebuah film menakjubkan “Parasite”.

Bagaimanapun, “The Divine Fury” cukup menghibur, aksi yang sedehana, namun terasa cukup familier. Pada dasarnya ini adalah film “Constantine”-nya Korea, dengan kurangnya protagonis yang menarik. Film pahlawan gaib sudah pernah dilakukan sebelumnya, dan lebih baik.

Masalah lain ialah bahwa dunia tidak begitu besar dan epik, tidak juga ancamannya. Secara keseluruhan, film ini berada di antara “OK” dan standar. Sebuah jagat sinema tetap bisa berhasil, tapi akan bergantung pada kualitas film berikutnya.